GATEL INGIN IKUTAN BAHAS GUNUNG KELUD

Weekend notes (6)

TIDAK ada yang menyangka jika suara gemuruh tadi malam adalah suara gemuruh meletusnya Gunung Kelud. Tidak ada yang menyangka jika pagi harinya akan turun hujan abu di daerah Solo dengan sangat lebatnya. Juga tidak ada yang menyangka jika kampus UNS akan diliburkan!

Rencana pulang ke Sragen sebelum jumatan tertunda. Rencana memberikan revisian proposal penelitian ke dosen reviewer 2 juga tertunda karena kampus diliburkan.

Baru setelah jumatan saya bisa pulang ke Sragen. Jalanan sangat berdebu. Rasanya seperti pembalap rally. Berasa seperti sedang balap motor di gurun pasir. Saya memacu motor dengan sangat kencang karena saat itu jalanan lengang. Tidak banyak pengendara. Saking banyaknya debu beterbangan, saya yang memakai masker tetap saja merasakan gatal di tenggorokan. Di mata jangan tanya lagi, berkali-kali saya kelilipan.

Hari itu (13/02/14) benar-benar fenomenal. Belum pernah sepanjang hidup saya mengalami hujan abu vulkanik sampai setebal itu. Padahal selama tinggal di Jogja –dari lahir sampai lulus SMP- sudah sering sekali mengalami Gunung Merapi meletus. Juga mengalami hujan abu tapi tidak sampai dibarengi dengan pasir. Yang juga tidak sampai menutup pandangan mata. Mungkin karena dulu saya masih kecil jadi tidak ingat apakah pernah terjadi hujan abu seperti Gunung Kelud sekarang ini atau tidak. Ingatan saya lebih membekas pada peristiwa gempa. Dan gempa terdahsyat yang pernah saya rasakan adalah gempa 27 Mei itu.

Kali ini saya terbawa mainstream dengan fenomena meletusnya Gunung Kelud. Semua media memberondong pemberitaan ‘tanpa ampun’. Di twitter, facebook, media online, surat kabar, dan televisi tidak henti-hentinya memberitakan meletusnya Gunung Kelud. Menjadikan saya tidak tahan lagi untuk ikut-ikutan juga. Gatel sekali tangan saya. Orientasi berpikir orang-orang sedang mengarah atau diarahkan ke sana. Menutupi kejadian-kejadian lainnya yang menghebohkan. Ada yang diuntungkan ada yang dirugikan. Padahal, sehari sebelum Gunung Kelud meletus, media ramai oleh video seorang Ustad –terkenal- yang menindih kepala seseorang dengan dengkulnya. Beberapa hari sebelumnya lebih heboh lagi, program sholat berjamaah berhadiah mobil oleh walikota Bengkulu. Dan tanggal 14 Februari yang orang mengenal dengan hari valentine atau hari cinta atau hari 'merah jambu' itu yang biasanya oleh kelompok kanan menjadi sasaran ‘pengharaman’ tidak santer terdengar. Semua seakan tertutup oleh hebohnya pemberitaan Gunung Kelud. Semuanya menguap. Semuanya jadi nggak laku lagi!

Tapi meletusnya Gunung Kelud kali ini memang benar-benar fenomenal. Tujuh bandara di Indonesia harus ditutup. Pemberitaan dari media asing juga tidak mau kalah santer. Seluruh perkantoran di Solo Raya diinstruksikan tutup pada hari itu. Kampus saya diliburkan. Semua itu tidak lain karena hujan abu yang terjadi bahkan sampai Jawa Barat. Bapak dan Ibu saya di Sragen tidak kalah heboh. Melihat langit di Sragen yang tiba-tiba gelap, Bapak segera menelepon satu-satu seluruh karyawan lapangan untuk segera balik ke kantor. “Darurat, segera balik ke kantor. Hari ini diliburkan!” seru Bapak via telepon. Ibu ku mencoba menelepon saya berkali-kali, tapi saat itu jaringan terganggu, handphone saya hilang sinyalnya. Saya pun mencoba mengirim sms ke Bapak dan Ibu mengabarkan saya tidak apa-apa. Ingin mengabarkan rencana pulang ke rumah yang awalnya lebih pagi saya urungkan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Tetapi berkali-kali saya coba kirim tetap gagal juga. Baru setelah hujan abu vulkaniknya mulai reda setelah awalnya angin lalu gerimis, sinyal handphone kembali ada, saya bisa menerima telepon dari Ibu. Lega.

Yang juga ikut-ikutan heboh tapi 'maaf' tidak saya suka adalah munculnya foto-foto aneh yang bersebaran di internet. Dengan ilmu ‘cocokologi’ apa saja coba dikait-kaitkan. Akal sehat dikesampingkan. Ada sebuah foto awan di atas gunung yang diberi tanda lingkaran merah lalu diberi keterangan itu foto membentuk wujud tertentu. Ada juga yang mengkait-kaitkan dengan dalil tertentu dalam kitab suci. Memprihatinkan memang. Dijaman yang semakin maju dengan kemodernan teknologi dan infrastruktur seperti sekarang ini tapi cara berpikir kita masih berjalan lambat. Pikiran kita jarang disuguhi dengan suguhan yang mencerdaskan. Pikiran kita masih menyukai suguhan yang membodohi asal bisa 'tertawa'. Guyonan-guyonan segar pun muncul dari bencana besar. Asyik?

Saya pun jadinya bingung mau senang atau prihatin. Di sini di Solo saya belum pernah merasakan hujan 'salju' vulkanik seperti ini. Ada kehebohan di hati saya. Begitu pun banyak orang di Solo. Tidak heran jika timeline disesaki semua hal yang berbau abu vulkanik. Ramai orang berkicau di twitter: nyapu dari tadi kotor lagi, kotor lagi. Ada lagi yang ngetwit: tolonggg, anak kos kelaparan, tidak ada warung makan buka, mau keluar takut. Banyak juga yang upload foto selfie dengan muka ditutupi masker dan latar belakang abu vulkanik. Seakan-akan sedang foto berlatar salju beneran. Ada-ada saja. Tapi saya pun harus jujur, saya ingin mengatakan sebenarnya, saya juga gumun!

Di sisi lain, saya prihatin, di sana di Kediri dan sekitarnya pasti suasananya sedang kalang kabut. Jika di solo sampai hujan pasir, di sana bisa-bisa hujan kerikil bahkan mungkin batu. Masih mending kalau kerikil dan batunya dingin bagaimana kalau panas? Belum lagi ancaman awan panas dan debu vulkanik ini. Sangat berbahaya jika terhirup langsung. Tentu warga di sana belum menyiapkan masker karena meletusnya Gunung Kelud kali ini sangat mendadak. Bagaimana dengan pengungsian. Mengungsi di mana? Bagaimana keadaan bayi dan anak-anak? Ibu-ibu yang sedang hamil? Apalagi Ibu-ibu hamil yang hari itu sudah waktunya melahirkan, kan tidak bisa ditunda? Mbak-mbak yang sedang menstruasi? Tidak lagi masker yang harus segera tersedia, tapi popok, selimut, makanan anak-anak, dan tentu saja pembalut!

Saya jadi teringat peristiwa 27 Mei 2006 gempa 5,9 SR di Jogja. Orang-orang sangat panik. Semua berhamburan. Berlarian mencari tempat tinggi karena isu tsunami. Tidak lagi bisa berpikir dengan jernih. Orang tidak memedulikan orang lain. Ditinggalkannya semua demi diri sendiri selamat. Ada yang ketinggalan. Banyak ding. Tidak cuma rumah yang roboh yang ditinggal, harta benda, kambing dan sapi, dan tetangga pun.

Malah jadi teringat itu. Ingin menangis rasanya, tapi sudahlah...Sudah terlalu malam mau cepat-cepat ke kamar mandi, sudah kebelet pipis dari tadi. Bye
Up