TIDAK ada yang menyangka jika suara gemuruh tadi malam adalah suara
gemuruh meletusnya Gunung Kelud. Tidak ada yang menyangka jika pagi harinya
akan turun hujan abu di daerah Solo dengan sangat lebatnya. Juga tidak ada
yang menyangka jika kampus UNS akan diliburkan!
Rencana pulang ke Sragen sebelum jumatan tertunda. Rencana memberikan revisian proposal
penelitian ke dosen reviewer 2 juga tertunda karena kampus diliburkan.
Baru setelah jumatan saya bisa pulang ke Sragen. Jalanan sangat berdebu. Rasanya seperti pembalap rally. Berasa seperti sedang
balap motor di gurun pasir. Saya memacu motor dengan sangat kencang karena saat itu jalanan lengang. Tidak banyak pengendara. Saking banyaknya debu beterbangan, saya yang
memakai masker tetap saja merasakan gatal di tenggorokan. Di mata jangan tanya
lagi, berkali-kali saya kelilipan.
Hari itu (13/02/14) benar-benar
fenomenal. Belum pernah sepanjang hidup saya mengalami hujan abu vulkanik
sampai setebal itu. Padahal selama tinggal di Jogja –dari lahir sampai lulus
SMP- sudah sering sekali mengalami Gunung Merapi meletus. Juga mengalami hujan
abu tapi tidak sampai dibarengi dengan pasir. Yang juga tidak sampai menutup
pandangan mata. Mungkin karena dulu saya masih kecil jadi tidak ingat apakah pernah
terjadi hujan abu seperti Gunung Kelud sekarang ini atau tidak. Ingatan saya lebih membekas pada peristiwa gempa. Dan gempa terdahsyat yang pernah saya rasakan adalah gempa
27 Mei itu.
Kali ini saya terbawa mainstream dengan fenomena meletusnya Gunung
Kelud. Semua media memberondong pemberitaan
‘tanpa ampun’. Di twitter, facebook, media online, surat kabar, dan televisi
tidak henti-hentinya memberitakan meletusnya Gunung Kelud. Menjadikan saya
tidak tahan lagi untuk ikut-ikutan juga.
Gatel sekali tangan saya. Orientasi
berpikir orang-orang sedang mengarah atau diarahkan ke sana. Menutupi
kejadian-kejadian lainnya yang menghebohkan. Ada yang diuntungkan ada yang
dirugikan. Padahal, sehari sebelum Gunung Kelud meletus, media ramai oleh video
seorang Ustad –terkenal- yang menindih kepala seseorang dengan dengkulnya. Beberapa
hari sebelumnya lebih heboh lagi, program sholat berjamaah berhadiah mobil oleh
walikota Bengkulu. Dan tanggal 14 Februari yang orang mengenal dengan hari valentine atau hari cinta atau hari 'merah jambu' itu yang biasanya oleh kelompok kanan menjadi sasaran ‘pengharaman’ tidak santer terdengar. Semua seakan
tertutup oleh hebohnya pemberitaan Gunung Kelud. Semuanya menguap. Semuanya jadi
nggak laku lagi!
Tapi meletusnya Gunung Kelud kali
ini memang benar-benar fenomenal. Tujuh bandara di Indonesia harus ditutup.
Pemberitaan dari media asing juga tidak mau kalah santer. Seluruh perkantoran di Solo Raya diinstruksikan tutup pada
hari itu. Kampus saya diliburkan. Semua itu tidak lain karena hujan abu yang terjadi bahkan sampai Jawa Barat. Bapak dan Ibu saya di Sragen tidak kalah heboh. Melihat langit di
Sragen yang tiba-tiba gelap, Bapak segera menelepon satu-satu seluruh karyawan
lapangan untuk segera balik ke kantor. “Darurat, segera balik ke kantor. Hari
ini diliburkan!” seru Bapak via telepon. Ibu ku mencoba menelepon saya
berkali-kali, tapi saat itu jaringan terganggu, handphone saya hilang
sinyalnya. Saya pun mencoba mengirim sms ke Bapak dan Ibu mengabarkan saya tidak
apa-apa. Ingin mengabarkan rencana pulang ke rumah yang awalnya lebih pagi saya urungkan karena
kondisi yang tidak memungkinkan. Tetapi berkali-kali saya coba kirim tetap
gagal juga. Baru setelah hujan abu vulkaniknya mulai reda setelah awalnya angin lalu gerimis, sinyal handphone kembali ada, saya bisa menerima telepon dari Ibu. Lega.
Yang juga ikut-ikutan heboh tapi 'maaf' tidak saya suka adalah munculnya foto-foto aneh yang bersebaran di internet.
Dengan ilmu ‘cocokologi’ apa saja coba dikait-kaitkan. Akal sehat dikesampingkan. Ada
sebuah foto awan di atas gunung yang diberi tanda lingkaran
merah lalu diberi keterangan itu foto membentuk wujud tertentu. Ada juga yang
mengkait-kaitkan dengan dalil tertentu dalam kitab suci. Memprihatinkan memang.
Dijaman yang semakin maju dengan kemodernan teknologi dan infrastruktur seperti
sekarang ini tapi cara berpikir kita masih berjalan lambat. Pikiran kita jarang
disuguhi dengan suguhan yang mencerdaskan. Pikiran kita masih menyukai suguhan
yang membodohi asal bisa 'tertawa'. Guyonan-guyonan segar pun muncul dari bencana
besar. Asyik?
Saya pun jadinya bingung mau senang atau
prihatin. Di sini di Solo saya belum pernah merasakan hujan 'salju' vulkanik
seperti ini. Ada kehebohan di hati saya. Begitu pun banyak orang di Solo. Tidak
heran jika timeline disesaki semua hal yang berbau abu vulkanik. Ramai orang
berkicau di twitter: nyapu dari tadi kotor lagi, kotor lagi. Ada lagi yang
ngetwit: tolonggg, anak kos kelaparan, tidak ada warung makan buka, mau keluar
takut. Banyak juga yang upload foto selfie dengan muka ditutupi masker dan
latar belakang abu vulkanik. Seakan-akan sedang foto berlatar salju beneran. Ada-ada saja. Tapi saya pun harus jujur, saya
ingin mengatakan sebenarnya, saya juga gumun!
Di sisi lain, saya prihatin, di sana
di Kediri dan sekitarnya pasti suasananya sedang kalang kabut. Jika di solo
sampai hujan pasir, di sana bisa-bisa hujan kerikil bahkan mungkin batu. Masih mending
kalau kerikil dan batunya dingin bagaimana kalau panas? Belum lagi ancaman awan
panas dan debu vulkanik ini. Sangat berbahaya jika terhirup langsung. Tentu
warga di sana belum menyiapkan masker karena meletusnya Gunung Kelud kali ini sangat mendadak. Bagaimana dengan pengungsian. Mengungsi
di mana? Bagaimana keadaan bayi dan anak-anak? Ibu-ibu yang sedang hamil? Apalagi Ibu-ibu hamil yang hari itu sudah waktunya melahirkan, kan tidak bisa ditunda? Mbak-mbak
yang sedang menstruasi? Tidak lagi masker yang harus segera tersedia, tapi popok,
selimut, makanan anak-anak, dan tentu saja pembalut!
Saya jadi teringat peristiwa 27
Mei 2006 gempa 5,9 SR di Jogja. Orang-orang sangat panik. Semua berhamburan. Berlarian
mencari tempat tinggi karena isu tsunami. Tidak lagi bisa berpikir dengan
jernih. Orang tidak memedulikan orang lain. Ditinggalkannya semua demi diri
sendiri selamat. Ada yang ketinggalan. Banyak ding. Tidak cuma rumah yang roboh yang ditinggal, harta benda,
kambing dan sapi, dan tetangga pun.
Malah jadi teringat itu. Ingin menangis
rasanya, tapi sudahlah...Sudah terlalu malam mau cepat-cepat ke kamar mandi,
sudah kebelet pipis dari tadi. Bye