Kiat Menulis Enak ala Dahlan Iskan

Oleh LAMBERTUS HUREK

Di GRAHA PENA Surabaya, markas Grup JAWA POS, DAHLAN ISKAN lebih akrab disapa Pak Bos. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini memang bos Grup JAWA POS. Di masthead koran-koran di lingkungan Grup JAWA POS, jabatan resmi Dahlan Iskan adalah chairman. Memang, selain membesarkan JAWA POS (dan grupnya) dialah ‘roh’ Grup JAWA POS.

Yang menarik, berbeda dengan bos-bos media lainnya, Dahlan Iskan ini tetap menulis. Bikin reportase, kolom, analisis berita... pokoknya menulis. Menulis kapan saja dia suka. Menulis dan membaca sudah menjadi darah daging tokoh pers nasional itu. Kalau sudah ada ide, di mana pun, kapan pun... Dahlan Iskan menulis.

Belum lama ini, Pak Bos jalan-jalan di Singapura. Jalan kaki di Orchard Road dengan trotoar yang rindang. Nah, di trotoar itu muncul ide untuk menulis masalah kota, sekadar masukan untuk Kota Surabaya. Maka, ayah dua anak ini menulis di trotoar itu. Besoknya, tulisan itu dimuat di JAWA POS, dan beberapa koran anak perusahaan JAWA POS.

“Dahlan Iskan itu penulis dan wartawan yang belum ada duanya di Jawa Timur, bahkan Indonesia,” k`ta BAMBANG SUJIYONO, seniman teater, pentolan BENGKEL MUDA SURABAYA, kepada saya.

“Harusnya kita punya banyak wartawan kayak dia. Sekarang ini wartawan buanyaaaaak sekali, media berlimpah, tapi hampir nggak ada wartawan yang punya tulisan bagus. Kayaknya wartawan-wartawan sekarang ini nggak bakat menulis deh. Makanya, tulisannya nggak karuan,” kata Bambang, bekas anggota DPRD Jawa Timur, juga bekas pemimpin redaksi beberapa media cetak di Surabaya.

Bambang Sujiyono, juga sejumlah seniman, mahasiswa, pengamat, serta kalangan terdidik di Jawa Timur, memang sejak lama ‘kecanduan’ tulisan Dahlan Iskan. Kalau Pak Bos lama tak menulis karena sibuk (maklum, urusan dan jabatannya banyak), orang-orang macam Bambang ini telepon atau titip pesan lewat redaksi agar Pak Bos segera menulis lagi.

"Ada teman saya yang hanya mau baca tulisan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisan lain dianggap nggak ada. Hehehe...,” kata Bambang Sujiyono lalu tertawa khas. Saya hanya mengangguk mendengar komentar Bambang. Lalu tertawa.

Bu Yuli, pemimpin sebuah kelenteng besar di Surabaya, juga berkali-kali 'titip pesan' lewat saya agar Pak Dahlan Iskan sering-sering menulis. Katanya, tulisan-tulisan Dahlan Iskan sangat kinclong, hidup, menarik, dan bikin pembaca ketagihan. Dia baca berkali-kali tulisan Pak Dahlan, tapi tidak pernah bosan.

"Hurek, kalau bisa kalian wartawan yang masih muda-muda ini belajar dari Pak Dahlan Iskan. Orang itu memang luar biasa. Ciamik soro, kata orang Tionghoa," kata Bu Yuli yang kebetulan sangat dekat dengan saya. Tiap kali ada hajatan besar di kelentengnya, entah itu Sincia, Cap Go Meh, sejit, hari jadi Kongco... saya pasti diundang.

Pendapat sama sebetulnya juga disampaikan pembaca JAWA POS dan RADAR SURABAYA, khususnya mereka yang punya ‘rasa bahasa’. Mereka menilai karya Dahlan Iskan itu unik, sulit ditiru, mengandung kejutan, jenaka, jelas, menghibur.

“Wislah, bilang bosmu itu (maksudnya Dahlan Iskan) supaya menulis terus. Sibuk ya sibuk, tapi ojo lali menulis. Penggemare akeh,” papar Bambang Sujiyono (sekarang sudah almarhum).

Saya pun sepakat dengan penilaian pembaca-pembaca kritis ala Bambang Sujiyono. Selain enak dan menghibur, Dahlan Iskan mampu mendudukkan persoalan secara terang dan jernih. Apa-apa yang tadinya gelap, remang-remang, jadi jernih setelah saya membaca tulisan Pak Bos.

Ambil contoh kasus haji (2007). Soal muasasih di Makkah yang menyediakan katering jemaah haji. Saya sering baca tulisan teman-teman wartawan, baca artikel di banyak media, dengar penjelasan dari wartawan senior yang sudah naik haji. Tapi penjelasan tentang seluk-beluk katering dan pengaturan makan jemaah haji tak pernah jelas. Tulisan wartawan-wartawan muda di koran malah bikin bingung. “Mbulet,” kata orang Jawa Timur.

Sabtu, 20 Januari 2007, Dahlan Iskan menulis di halaman satu JAWA POS. Dia bahas masalah katering, muasasah, kebijakan Menteri Agama MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI. Begitu membaca tulisan Pak Bos, saya langsung paham apa yang menimpa sekitar 200 ribu jemaah haji kita di Arab Saudi akhir Desember 2006.

Pak Bos menulis pendek, sederhana, logis, cespleng. Cukup satu artikel pendek, Dahlan Iskan berhasil memberi gambaran seputar persoalan haji. “Kalau bisa disederhanakan, kenapa harus rumit-rumit?” begitu kira-kira salah satu jurus menulis Pak Bos.

Senada dengan Bambang Sujiyono, saya sepakat bahwa Pak Bos ini punya talenta lebih. Dus, sulit ditiru wartawan lain, termasuk saya, meskipun dulu beliau sering memberikan bengkel atau latihan menulis kepada wartawan JAWA POS dan beberapa koran anak perusahaan. Karena tulisannya enak, selalu ditunggu, redaktur selalu menempatkannya di halaman muka.

“Daya tarik tulisan Dahlan Iskan memang luar biasa,” kata LUTFI SUBAGYO, bekas pemimpin redaksi SUARA INDONESIA (Grup JAWA POS). Karena itu, dulu, saban Sabtu Lutfi menempatkan ‘catatan ringan’ Dahlan Iskan di halaman satu. Oplah hari itu pun naik, karena banyak warga Surabaya yang beli koran hanya untuk menikmati tulisan Pak Bos.

Nah, sebagai wartawan di Graha Pena, saya beruntung pernah mendapat gemblengan langsung dari Pak Bos meski tidak secara khusus. Learning by doing, itulah yang dilakoni Pak Bos. Saya pernah mencoba meniru gayanya, tapi gagal.

Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi saya sendiri:

LEAD HARUS SANGAT MENARIK

Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.

“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.

“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.

Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.
Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS

Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.

Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan ... Gus Dur!”

Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK

Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.

“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).

“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. “Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.

Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasa Indonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimat kan tidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.

Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.

Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:

"Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.

Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.

Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu -- direct quotation -- juga harus pendek-pendek.

Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita."

MENULIS SEPERTI BERBICARA

Gaya bicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.

Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF

Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.

Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.

“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.

Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet... karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI YANG SANGAT KUAT

Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret... Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.

Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!

Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.

Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

BANYAK MEMBACA

Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.

Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.

Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS

Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap... itulah yang ditulis.

Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siang Jakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika... dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.

Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA

Di balik penampilan yang sederhana--sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel--Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. "Saya harus bisa,” katanya.

Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas di Surabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTAILAH SASTRA

Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.

Mereka-mereka ini praktisi sastra Indonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.

Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia di Surabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)

Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.

“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.

Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Manufacturing Hope 60 - Dahlan Iskan


Mulai pencurian teknologi sampai cara mengemudi
Ini mirip istilah “sengsara membawa nikmat”. Kecelakaan ini, meski menimbulkan kebisingan, benar-benar memberi pelajaran berharga.
Selama ini, secara ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan antara lima putra petir yang menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri.
Ada yang berpandangan, mobil listrik tidak perlu menggunakan gear box. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumni ITB), berpendapat mobil listrik harus menggunakan gear box. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumni Gujarat). Mereka setuju tidak harus memakai gear box, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu-Sarangan Sabtu pekan lalu, memberi pelajaran sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan mewujudkan ambisi keilmuannya, apalagi saya menangkap sinyal para ahli kita memang ingin membuktikan kehebatannya. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih memberi otonomi luas kepada mereka.
Karena itu ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan gear box, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, awalnya, saya dan Kang Dasep menanggung malu: begitu tiba di Jalan Thamrin Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI “mogok”. Media meliputnya secara besar-besaran.
Saya malu sekali, tapi saya meminta Kang Dasep tak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga “menipu”.
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan yang tidak terjal. Padahal ini diliput langsung media secara luas.
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih banyak “malu” yang lain. Tapi biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh.
Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km. Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali.
Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya meminta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi, insya Allah, sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju membiayainya. Bahkan sudah meminta Kang Dasep membuatkan bus listrik.
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumni AS) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta.
Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya.
Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada kekurangannya hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki.
Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan bergantian mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka saya meminta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin, Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurutnya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan.
Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu saya minta Tucuxi disiapkan di Solo. Untuk saya coba lewat medan yang berat.
Ini penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar mobil ini harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: bisakah mengatasi tanjakan. Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-ya dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai was-was. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga.
Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dari AhmaDI.
Saya tidak segera menyadari kalau Tucuxi ciptaan Mas Danet ini tidak menggunakan gear box. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gear box!
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendorkan rem agar tidak over heated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet.
Tapi setiap kali rem saya longgarkan mobil langsung melaju, padahal jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas.
Tapi bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan soal bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan sholawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami masih belum menyadari bahwa tanpa bantuan gear box rem akan bekerja sendirian terlalu keras.
Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan.
Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera memutuskan ini: lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing itu. Braaak! Mobil hancur.
Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: tidak ada darah. Saya raba muka saya: tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan tergores sedikit pun tidak.
Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segitiga-segitiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gear box. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gear box atau yang tidak pakai gear box.
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya.
Tapi pelajaran teknologi tadi akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekwensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan ini.
Mobil listrik harus jaya!
Baik Kang Dasep yang menggunakan gear box maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gear box sama-sama hebatnya.
Sama-sama sudah membuktikan dirinya menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri.
Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya. Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang kita akan menyesal untuk kedua kalinya.
Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju!
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Sumber: https://www.facebook.com/Catatan.Dahlan.Iskan/posts/10151254014799403, Koran Jawa POS edisi Senin
Follow twitter saya di www.twitter.com/johanhariyanto

One Think One Action

Perjalanan 3 Misi : Album Kenangan, Kerjaan, dan Bacaan

Masih suasana awal tahun. Suasana liburan kuliah khsusunya mahasiswa Psikologi UNS. Juga suasana musim hujan. Senin, 14 Januari 2013 pagi-pagi saya berencana ke Solo. Ada tiga agenda besar saya di solo, pertama, rapat pembuatan album kenangan angkatan. Kedua, survey tempat membeli perkakas untuk jualan. Ketiga, saya ingin membeli buku “Habibie dan Ainun”.

Rencana awal berangkat pukul 8 WIB, tetapi karena dapat sms dari ibu untuk menjemput Chandra, adik kedua saya di playgroup Kartini, Sragen, karena Bapak ada acara mendadak sebelum jam 9 sudah berangkat ke Pati, Jawa Tengah. Saya menunda keberangkatan jadi pukul 10 langsung setelah menjemput Chandra (3 tahun).

Waktu yang seharusnya saya gunakan bersiap-siap untuk segera berangkat, saya pergunakan untuk membersihkan rumah. Saya menyapu setiap bagian rumah. Tidak berat, sama sekali berat. Rumah yang sudah hampir dua tahun kami tempati cukup kecil, bisa dibilang sangat kecil. Ukuran awal 36, kemudian dilebarkan menghabiskan sisa tanah. Bisa dibayangkan betapa sempitnya. Ya. Karena kami tinggal di perumahan yang sederhana. Kompleks perumahan baru di Sragen. Puro Asri II, yang rencananya akan membangun 1000 rumah. Sampai saat ini masih proses pembangunan bersamaan dengan penduduk baru yang sedikit-demi sedikit mengisi rumah di kompleks ini. Tentu rumah milik sendiri, dan ada yang ngontrak.

Kami termasuk penghuni paling lama di kompleks ini. Sehingga ketika ada inisiatif untuk pembentukan RT, bapak terpilih sebagai ketuanya. Padahal keluarga kami sama sekali tidak punya pengalaman di bidang ini. Tetapi dengan terbentuknya pengurus RT, urusan kependudukan sangat terbantu. Pengurusan perpindahan KK hingga mencari bantuan pemerintah untuk pengajuan pemasangan saluran PAM jadi lebih mudah.

Setengah sepuluh saya langsung mandi dan berkemas. Saya cepat-cepat, takut keduluan sekolah selesai sehingga adik ketakutan tidak ada orang yang menjemput.

Ketika saya sampai di sekolah Chandra. Pas sekali saat siswa dipulangkan, atau mungkin tepat ketika siswa boleh keluar dari ruang kelas. Ketika saya turun dari motor, kemudian saya melihat adik baru keluar dari ruang kelas. Dari mimik mukanya dia terlihat bingung melihat saya. Juga sedikit ingin menangis. Mungkin bingung karena yang datang menjemput bukan Bapak, tapi saya kakaknya. Tapi saya langsung mengajak Chandra naik motor terus langsung saya antarkan ke kantor, ibu sudah menunggu di sana.

Sekarang saya jarang mengunjungi kos-an. Terlebih setelah kuliah semester ganjil berakhir. Saya selesai semester 7. Hampir satu minggu saya tidak ke kos. Walaupun musim libur tetapi kos-kosan tetap ramai. Maklum, kosan ini besar. Tidak hanya ditinggali oleh mahasiswa saja. Tetapi ada juga dari siswa dan pekerja. Juga dari berbagai daerah asal tempat tinggalnya. Sampai di kos saya ketemu dengan Python yang kebetulan juga baru sampai. Teman satu kampus satu angkatan satu kelas satu kos satu lantai ini memang sangat rajin ke Solo. Tidak libur tidak kuliah dia selalu ada di Kos.

Baru sebentar duduk, belum sempat membereskan kamar yang view-nya kurang bagus, berantakan. Perut saya sudah mulai berdemo, padahal baru jam 7 pagi tadi sarapan.
Saya merasa beberapa hari ini perut mudah lapar. Tepatnya setelah berobat ke RS Sarila karena maag saya kambuh. Mungkin efek dari obat agar maag saya cepat pulih jadi obat memaks untuk sering-sering makan. Tapi saya merasa ini terlalu keseringan, jeda waktunya sangat singkat. Baru sebentar makan sudah lapar lagi.

Kebetulan teman saya Riki sedang makan di Hik-hikan tempat biasa kami makan, dekat stasiun Jebres, Surakarta. Saya langsung tancap gas ke sana. Sebelum pulang saya membungkus beberapa gorengan kesukaan. Ada ubi goreng, pisang goreng, dan juga tahu goreng yang juga gorengan kesukaan presiden kita SBY. Saya minta plastik sama pakdhe Karyo, bapak penjual hik itu. Saya bungkus dengan plastik bening untuk pembungkus es teh, kemudian saya rangkap dengan plastik kresek hitam. Ini dilakukan agar plastik hitam tidak terkena gorengan langsung. Bahaya zat kimia yang terkandung pada plastik hitam dapat melunturi gorengan. Sesuai anjuran dari ketua BPOM, Husniah Rubiana Thamrin Akib agar tidak menggunakan plastik kresek hitam sebagai wadah makanan. Akan berpengaruh pada kesehatan jangka panjang. Bahkan bisa beresiko menimbulkan kanker dan kerusakan ginjal.

Sesuai janji, setelah salat duhur, saya berangkat ke kampus. Saya hampiri Riki, karena sekalian setelah rapat kami langsung survey tempat toko perkakas untuk jualan makanan.
Saya tidak suka terlambat. Kalau pukul 1 janjiannya, maka pukul 1 sebisa mungkin saya sudah ada di tempat. Di kampus saya melihat teman-teman mahasiwa, kebanyakan angkatan akhir, kami sebut dengan angkatan tua, terutama angkatan 2009. Saya kagum teman-teman sangat rajin datang ke kampus walaupun waktu libur, punya semangat tinggi untuk cepat menyelesaikan skripsi . Di perpustakaan mencari referensi judul dan buku. Saling berdiskusi dari judul, pembimbing, sampai landasan teori. Di depan ruang dosen, antri menghadap bu Rin untuk konsultasi judul yang akan diajukan. Di parkiran dan di dalam ruang himapsi teman-teman dengan laptop sendiri-sendiri di hadapannya sedang berkoneksi dengan internet mencari referensi jurnal-jurnal ilmiah yang sesuai dengan tema/judul skripsi yang di minati.

Di kursi duduk depan TU saya dan Riki menunggu Inug dan Ratna, teman janjian rapat album angkatan. Inug sedang makan di warung “Sederhana” sebrang kampus. Warung makan biasanya saya dan teman-teman cowok angkatan 2009 makan saat kuliah. Warung yang cukup nyaman untuk mengobrol, jajanan warung yang enak, terutama mendoannya, dan kepala ayam gorengnya yang jadi rebutan, tempat bergosip juga. Sementara Ratna juga masih perjalanan ke kampus.

Setelah kami berempat berkumpul, kami membahas apa saja yang dibutuhkan dalam membuat album kenangan angkatan. Kami sepakat untuk menggunakan jasa photografer profesional untuk pengambilan gambar sampai album dicetak. Dari informasi yang Ratna dapat, perkiraan untuk membuat album kenangan harga bisa sampai130 ribuan. Jika bisa kami minta agar harga hanya 100 ribu saja.

Dari situ kami melanjutkan untuk membahas konsep. Kebetulan Inug membawa album kenangan waktu dia SMA. Abum itu bisa menjadi gambaran, bisa diambil konsep yang menarik. Kami memutuskan menggunakan konsep “picnic and fun”. Untuk foto utama kami membagi menjadi 15 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 orang. Kelompok ini panitia yang membagi. Jadi semua mahasiswa dari angkatan 2009 bisa masuk semua. Dan tidak ada yang merasa diasingkan. 15 kelompok berarti juga 15 lembar halaman untuk bagian foto utama. Rencananya foto utama akan diambil di daerah Kemuning, Ngargoyoso dan sekitarnya. Seperti kebun teh Kemuning, Cafe Dorodonker, Hutan Raya Sukuh, Setiawan Jodi, dan lainnya. Sesuai dengan tema “Picnic and Fun”.

Pembahasan dilanjutkan dari prolog yang diisi dengan sejarah perjalanan angkatan 2009 dari kampus Tirtomoyo, RK 3 FK kampus pusat, Kentingan, sampai ke kampus Mesen yang kami tempati sekarang, mungkin sampai lulus nanti. Kemudian bagian testimoni yang akan mengisi siapa saja agar semua bagian dari warga kampus dapat terwakili memberikan pesan kepada kami angkatan 2009 yang akan segera lulus. Ada juga bagian award angkatan, kami menyebutnya bagian “ter-ter-an”, bagian ini sebenarnya untuk seru-seruan saja. Kami akan membuat nominasi dan memvote-nya lewat facebook. Kami juga tak lupa memberikan apresiasi bagi teman-teman angktan 2009 yang pindah kuliah. Bagian ini kami beri nama “Dear Gone”. Selesai juga akhirnya, kami pada epilog. Kebetulan selesai, cuaca mendung, tanda segera hujan. Kami sepakat seminggu lagi bertemu lagi untuk mengunpulkan materi dan membahas langkah selanjutnya. Kami berpisah, saya melanjutkan misi.

Sebelumnya ketika menunggu Inug dan Ratna saya bertanya-tanya sama Riki dan Anjar, putra dari Bu Warno, Ibu penjaga kantin kampus. Saya bertanya tempat biasa ibunya membeli kebutuhan untuk jualan. Dari informasi itu saya langsung mencarinya berboncengan dengan Riki menggunakan motor yang saya pinjam dari Bapak. Daerahnya berada di sekitar pasar Gedhe. Setelah tahu tempatnya yang terlihat sangat ramai. Kami langsung pulang. Saya tidak mengantarkan Riki langsung ke kosnya. Tapi kami ke kos Python.

Ternyata setelah Python pergi badminton, hujan justru turun deras. Kami tetap di kamar kos-an saya karena belum juga berhenti sampai waktu isya. Baru setelah jamaah isya di masjid Al Hakim di dekat kos, kami pergi belanja ke As-Gross di belakang kampus walaupun sebenarnya hujan juga belum berhenti.

Dari As-Gross saya mengantarkan Riki pulang ke kosnya. Hujan masih turun walaupun sudah tidak deras lagi. Sudah hampir pukul 8 malam, tapi hati masih mengganjal. Segera saya mengambil keputusan, setelah mengantar Riki, sesuai rencana, saya pergi ke togamas. Perjalanan cukup jauh, ditambah dengan hujan yang mengguyur cukup mampu membasahi jaket dan celana yang tidak menggunakan mantel hujan.

Kenapa saya tetap hujan-hujanan demi ke togamas? Karena ini sudah menjadi prinsip, bahwa setiap niat harus saya kerjakan. One think one action. Itu prinsip yang saya pegang sungguh-sungguh.

Alhamdulillah togamas masih buka. Terlihat parkiran sepi. Bukan karena sudah mau tutup, atau saya kemalaman, tapi karena hujan. Benar dalam hati, jaket saya basah. Saya titipkan tas dan jaket. Saya masuk togamas, cukup sepi, apalagi lantai 2. Hanya dua-tiga orang yang saya lihat di sana. Saya pilih-pilih buku sambil berpikir keras jadi membeli buku Habibie dan Ainun atau tidak. Hati kuat untuk membeli, tapi logika menghambat karena harga 72 ribu mahal bagi saya. Berdasarkan prinsip saya harus membeli. Maka tidak berpikir lama lagi, saya mengambil buku dan mengabaikan buku lain yang tak jauh menarik perhatian dan keinginan untuk membelinya. Saya buat prioritas. Semoga pilihan saya tepat. Saya ke bawah bayar ke kasir dan langsung balik ke kos.

Cukup sudah rencana saya hari itu. Terpenuhi semua. Alhamdulillah. Hampir batal membeli buku di togamas karena hujan dan sudah kemalaman. Tapi niat kuat saya tetap melangkahkan kaki menerjang halangan itu. Hawa dingin begitu saya rasakan ketika sampai kos-an. Jaket dan celana jeans saya lepas. Bad cover langsung saya selimutkan menutupi seluruh badan. Saya menyalakan laptop agar tidak mengantuk. Tapi kenyataan sering berbeda dengan niatan. Saya tertidur ditemani tayangan mario teguh hasil download dari youtube. Padahal pukul 9 saya punya rencana kumpul dengan teman-teman. Saya pikir diakhir-akhir masa kuliah, kami butuh sering berkumpul. Tapi apa boleh buat saya justru terlelap. Pukul 2 malam baru terbangun. Saya gosok gigi, shalat malam dan lanjut tidur lagi.

Pagi 6.30 pagi saya bangun dan langsung bersiap diri pulang ke Sragen. Memang niat sebelum berangkat hanya bermalam satu malam di Solo. Kemudian paginya langsung pulang.

Saya berencana seminggu sekali mengunjungi Solo. Mengunjungi kos, pacar dan kampus. Perjalanan saya kali ini alhamdulillah menyenangkan. Motif dan misi saya terlampaui semua. See u next notes :)

Keep Fighting!!! Learn, Action, and Share

Follow twitter saya di www.twitter.com/johanhariyanto

Pelajaran berharga dari QS 5 ayat 27-32 malam ini :)

Hasil dari ngaji ba'da maghrib. Baca surat Al Maidah ayat 27-32. Check this:

#1 Janganlah iri terhadap apa yg tidak mampu diupayakan. *lihat Habil-Qabil
#2 Meningkatkan Iman dan Taqwa. Karena hanya yg bertaqwa yg diterima di sisi Nya
#3 Takut hanya kepada Nya. *Lihat Habil tdk melawan Qabil ketika hendak dibunuh
#4 Rendah hati. Mau belajar dari yg lebih rendah pengetahuannya. Dan mengambil pelajaran dari keadaan sekitar. *Qabil belajar dr gagak
#5 Segera menyesali (tobat) kesalahan yg diperbuat.
#6 Tidak menyakiti orang lain. Karena menyakiti seseorang berarti jg menyakiti seluruh manusia dan keturunannya.
#7 Suka berbuat kebaikan. Karena memelihara seorang manusia berarti memelihara seluruh manusia.

semoga bermanfaat :)
Keep fighting!!! Learn, Action, and Share

https://twitter.com/johanhariyanto

Tuhan (tidak) Sedang Menguji

Masih ingat peristiwa tsunami Aceh tahun 2004? Betapa dahsyatnya peristiwa tersebut. Yang mampu meluluhlantakkan serambi Mekkah. Kapal yang begitu besar berpindah puluhan kilometer. Menewaskan tidak hanya satu dua nyawa, puluhan, atau ratusan. Tetapi lebih dari 200 ribu nyawa telah terenggut.

Itulah bukti kekuasaan Allah swt. Hanya dalam waktu tak lebih dari setengah jam, bumi ini digoncang, diputar-balikkan.

Inilah kita....

Ketika bencana menimpa, sering kita mendengar, “Allah sedang menguji kita”. Mungkin itu tidak salah. Agar tetap berpikir positif. Agar asa masih menyala dalam kesulitan yang menimpa.

Mungkin pikiran seperti itu tepat ketika keadaan benar-benar sedang sempit. Tetapi kalimat itu hanya akan menjadi sebuah alasan. Menjadi sebuah alat melindungi diri saja.

Sebaiknya, dan renungkan. Merasa berdosa itu lebih baik. Banyak dosa kita, kesalahan kita, kekhilafan kita. Yang kita sadari dan tidak kita disadari. Yang sudah kita lupakan maupun yang masih terngiang dalam ingatan. Astaghfirullah

“Apakah Engkau murka padaku, ya Allah. Hamba sering mengabaikan laranganMu. Hamba sering lalai atas perintahMu. Hamba  sering mengeluh. Dan Hamba jarang bersyukur atas nikmatMu.”

Kesulitan mengerjakan tugas kuliah. Kegagalan dalam ujian. Bahkan kesusahan sepele saja. Kita dengan mudah mengatakan itu sebagai ujian. Memang kita harus selalu husnudzon setiap saat. Tetapi kita juga dianjurkan introspeksi diri. Merasa bersalah itu baik. Merasa berdosa itu lebih baik.

Kita harus belajar dari kaum-kaum terdahulu. Kaum Luth as yang dimusnahkan karena menyukai sesama jenis. Kaum Nuh as yang dibanjiri. Dan raja Fir’aun yang ditenggelamkan. Semua itu karena murka Nya. Bukan lagi sebuah ujian.

Kita orang yang beriman, marilah mengambil pelajaran.

So, kita harus tetap husnudzon disetiap takdir Tuhan. Tetapi banyak merasa berdosa itu lebih baik. Agar setiap tindakan kita lebih bijak.

Keep Fighting !!! Learn, Action, and Share

@johanhariyanto
Up