Weekend Notes 3
Seremonial ala TNI |
SEPANJANG tahun ini sudah silih berganti saya mendapat undangan
pernikahan. Beberapa undangan saya hadiri. Beberapa yang lain tidak. Untuk yang
tidak, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga sukses dalam membangun keluarga.
Sebagian besar yang sudah menikah
adalah teman-teman perempuan. Baik teman masa kecil, teman SD, SMP, SMA maupun
teman kuliah. Tapi ada juga teman laki-laki. Malah menikahnya dengan pacarnya sejak SMA –teman saya juga. Bahkan saya
mendengar teman saya ini baru saja melahirkan anak pertama mereka. Alhamdulillah
Sabtu kemarin (28/12) saya
menghadiri pernikahan teman semasa SMP. Seorang perempuan yang cantik, kulit putih
bersih dan dari keluarga yang baik. Lulusan dari pendidikan kebidanan (D3). Suaminya
juga bukan sembarangan. Seorang anggota TNI AL. Jarak usia di antara keduanya
tidak terlampau jauh. Uniknya, keluarga keduanya masih memiliki hubungan
kekerabatan. Benar-benar beruntung.
Pada resepsi kali ini saya tidak datang
sendirian. Saya juga tidak datang bareng teman-teman SMP lainnya. Tapi saya datang bareng seluruh keluarga. Keluarga
besar saya!
Loh?
Memang dia ini teman SMP saya.
Tapi kami masih memiliki jalur kekerabatan. Dari saya ke Bapak ke mBah Putri (Ibu-nya
Bapak). Nah, teman SMP saya ini adalah cucu dari mbak-nya mBah putri saya. Semoga
bisa dipahami.
Selamat menikah Siti! Atas
pernikahannya semoga penuh berkah. Keberuntungan yang berlipat. Melewati
pergantian tahun sudah dengan suami. Tentu suami yang masih “gres”. Kalau
istilah sepeda motor, masih masa inreyen.
Pasti indah. Beberapa hari setelah menikah ada perayaan pergantian tahun. Bulan
madu yang sungguh spesial. Semoga langsung “jadi”.
Bisa jadi ini undangan pernikahan
terakhir sebelum pergantian tahun. Yang saya perhatikan bukan siapa yang
menikah. Apakah saudara atau teman saya. Tetapi usia saya baru 22 tahun. Berarti
usia teman-teman saya itu semua yang menikah kurang lebih sama. Antara 20-24
tahun. Saya jadi berpikir. Apakah sekarang ini sedang tren menikah di usia yang
semuda ini? Atau apakah di usia ini memang sudah waktunya menikah? Apakah sejak
dulu sudah umum orang menikah pada usia ini? Apakah teman-teman yang memutuskan
menikah ini sudah siap membangun keluarga? Tidak takutkah meraka? Kok rasanya
anak muda sekarang “pada berani-berani”. Sudah matangkah secara sosial? Ekonomi?
Secara biologis dan psikologis?
Atau saya saja yang belum berani
menikah?! Bapak saya saja menikah usia 23 tahun. Sedang, adik Bapak paling
kecil (Om saya) menikah usia 22 tahun. Nah!
Banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat di pikiran saya. Tentu saya tidak harus
menjawabnya. Tapi satu pertanyaan yang membuat saya bungkam. Pada resepsi
pernikahan Siti kemarin, di saat akan mengambil posisi foto dengan pengantin.
Tiba-tiba sambil nggeret baju saya,
Siti nyeletuk,”Kowe kapan an nyusul?” #@$%#^&$*#@$%