Sisi Lain Anak PUNK

KETIKA saya baru sampai di gramedia, solo, kemarin tanggal 29 Januari 2013, saya melihat dua anak berpakaian urakan keluar menuju parkir basement. Memperhatikan pakaian mereka: jaket kumal, celana jeans terpotong tidak rapi, sandal jepit dan  rambut urakan dicat kuning. Perhatian saya kemudian menuju pada plastik kresek yang dibawa salah satu anak. Saya perkirakan di dalamnya adalah buku, mereka habis membeli buku. Saya berpikir, buku seperti apa yang dibeli anak-anak itu.

Jumlah Rakaat Tarawih yang Benar

Awalnya saya tidak ingin merampungkan tulisan ini. Karena saya tidak mendapatkan riwayat yang sampai dengan sahih mengenai jumlah rakaat tarawih yang benar. Apakah yang benar 8 rakaat atau yang benar 20 rakaat. Tapi pendapat jumhur ulama lebih menyimpulkan tarawih 20 rakaat. Hal ini yang membuat saya kemudian ragu ingin melanjutkan posting atau tidak. Karena ditakutkan akan tidak seimbang. Padahal tujuan tulisan saya adalah agar orang habis baca ini jadi yakin berapa pun jumlah rakaatnya itu sah shalatnya. 

Lalu saya menyimpulkan: Orang-orang yang shalat 8 rakaat yang tidak mau mengikuti imam shalat 20 rakaat dan sebaliknya orang-orang yang shalat 20 rakaat yang tidak mau mengikuti imam shalat 8 rakaat, murni karena kebiasaan. Misal, Orang yang terbiasa dengan shalat 8 rakaat, ketika imam tarawih shalat 20 rakaat, lalu di hatinya muncul perasaan tidak sreg. Lalu orang tersebut mengakhiri shalatnya setelah selesai 8 rakaat. Bahkan ada yang tidak mau lagi tarawih di masjid yang tarawihnya 20 rakaat.

MENGADAPTASI KEBIASAAN SUKSES BANGSA JEPANG


Masyarakat Jepang identik dengan kerja keras, kesuksesan, dan mobilitas tinggi. Alangkah lebih baik bila kita bisa mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan orang Jepang berikut ini.

1. Kerja keras

Sesusah-susahnya hidup, orang rajin tidak akan pernah kelaparan. Jepang adalah contoh bangsa yang rajin.

PERBEDAAN , SIKAP KITA DAN KENISBIAN




Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah 2011
Oleh Dahlan Iskan

INILAH tempat yang orangnya tidak saling menyalahkan. Inilah tempat yang orangnya tidak mempersoalkan Anda penganut Islam aliran yang mana. Inilah tempat yang di pintu masuknya tidak ada yang bertanya NU-kah Anda atau Muhammadiyah, Wahabikah Anda atau Ahmadiyah, Ahlussunnahkah Anda atau Syi’ah, Hisbuttahrirkah Anda atau Ikhwanulmuslimin, Jamaah Tablighkah Anda atau Islam Jamaah.

Inilah tempat yang pintunya hampir 100 buah, melebihi jumlah aliran yang ada. Inilah tempat yang halamannya seluas dada umatnya. Inilah rumah Tuhan untuk orang Islam yang mana saja dari mana saja.

Ada yang sembahyang dengan celana digulung sampai mata kaki tanpa mencela mereka yang celananya dibiarkan panjang sampai menyentuh lantai. Ada yang pakai jubah serba tertutup tanpa menghiraukan yang hanya pakai kaus lengan pendek. Ada yang sembahyang dengan pakai sarung tanpa mencela yang pakai kaus sepak bola Barcelona dengan nama Messinya atau kaus Arsenal dengan nama Fabregasnya.

Inilah masjid yang orangnya sembahyang dengan bermacam-macam gerakan tanpa ada yang merasa salah atau disalahkan. Ada yang ketika takbiratul ikram mengangkat tangan sampai menyentuh telinganya tanpa menghiraukan jamaah di sebelahnya yang tidak melakukan gerakan tangan apa-apa. Ada yang tangannya konsisten bersedekap di dada tanpa mempersoalkan orang yang tangannya begitu sering masuk ke saku jubahnya seperti mencari-cari benda yang hilang. Ada yang sambil sembahyang matanya terpejam tanpa menegur sebelahnya yang sibuk mematikan handphone-nya yang tiba-tiba berdering.

Inilah tempat yang jamaahnya tidak mempersoalkan mengapa ada yang dapat tempat sembahyang di dekat Ka'bah dan ada yang hanya dapat tempat di pinggir jalan atau di tangga atau bahkan harus sembahyang di atas pagar yang lebarnya hanya setapak. Inilah tempat yang orangnya hanya konsentrasi memikirkan bagaimana agar dirinya sendiri bisa diterima menghadap Tuhannya tanpa peduli apakah Tuhan juga menerima penghadapan yang lain.

Inilah tempat yang semua orangnya ingin mendapat tempat yang terdekat dengan Tuhan tanpa perlu melarang atau menyingkirkan atau membunuh orang lain yang juga menginginkan posisi yang terdekat dengan Tuhan. Inilah tempat sembahyang muslim yang bersujud di aspal sama nikmatnya dengan bersujud di permadani tebal.

Inilah tempat yang orangnya tidak mempermasalahkan apakah tempat sembahyang bagi wanita harus disembunyikan di balik dinding atau di balik tabir. Ada yang sembahyang berkelompok sesama wanita dengan pembatas kain rendah tanpa menyalahkan wanita yang sembahyangnya tercampur dengan pria. Ada tempat sembahyang khusus laki-laki tanpa menganggap tidak sah beberapa laki-laki yang sembahyang di tengah-tengah jamaah wanita, bahkan dengan posisi berdempetan dengan wanita di sebelahnya itu.

Inilah tempat yang membuat saya termenung lama mengapa jutaan manusia yang datang ke tempat ini tidak mempersoalkan aliran orang lain sebagaimana kalau mereka berada di tempat asal mereka. Mungkinkah karena begitu egoisnya mereka yang datang? Mungkinkah begitu individualistik nya mereka yang ke tanah haram? Mungkinkah muncul kesadaran bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang memutuskan siapa yang berhak dekat dengan-Nya dari mana pun alirannya?

Inilah tempat yang membuat saya tertegun sejenak: mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa dominan sebagai mayoritas? Mungkinkah perasaan kehilangan dominasi mayoritas itu yang menyebabkan segala yang minoritas harus disingkirkan? Mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa menjadi tuan rumah sehingga semua orang adalah tamu?

Inilah tempat yang membuat saya berpikir: begitu indahnya kah keberagaman yang seimbang itu?

Inilah tempat yang membuat saya ingat begitu kerasnya persaingan dunia usaha: mungkinkah kedamaian di tempat ini karena masing-masing aliran tidak sedang me-marketing-kan aliran masing-masing? Mungkinkah marketing aliran itu yang membuat terjadinya perebutan pasar sehingga yang minoritas merasa harus meningkatkan market share-nya dan sang market leader mati-matian melawan setiap penggerogotan pasarnya?

Wallahualam. Tuhan bukan pasar dan tidak akan memedulikan posisi pasar.

Sebagai orang yang sejak kecil berada di lingkungan ahlussunah dan dilatih praktik ibadah ahlussunnah dengan gerakan sembahyang yang begitu tertib (sampai posisi jempol kaki saat duduk takhiyat akhir pun dibetulkan dengan keras) di tempat ini ternyata saya juga bukan lagi mayoritas.

Inilah tempat yang membuat saya paham bahwa mayoritas atau minoritas itu ternyata nisbi. Sepenuhnya bergantung pada tempat dan waktu. (c2/lk)

Melafalkan Niat

Di sekitar saya ada kalangan yang berbeda pendapat antara melafalkan niat dengan niat yang cukup dibatin (dalam hati saja). Perbedaan ini murni karena kurangnya pemahaman. Beberapa di bawah ini adalah hasil belajar saya. Wallaualam semoga Allah melindungi saya tetap di jalan yang lurus, jalan yang DIA ridloi dan diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang sesat. amin

#1 Belum pernah ditemukan riwayat mengenai kanjeng Nabi Saw melafalkan niat pada saat melaksanakan ibadah, KECUALI saat Kanjeng nabi melaksanakan ibadah haji.

MENDOBRAK BENTENG KOKOH BERNAMA SKRIPSI

JALAN kaki nya sudah cepat tapi garis finis skripsi tak kunjung sampai. Jalan cepat saja tidak cukup. Perlu kerja yang cepat. Kerja cepat saja kalau sebentar-sebentar berhenti juga sia-sia. Perlu disiplin agar kerja menjadi kontinu. Kerja dalam arti menyelesaikan skripsi. Nah, disiplin ini yang sampai sekarang belum bisa saya taklukan. Sulit sekali. Lagi-lagi terbentur malas. Malas seperti momok. Malas seperti sakit maag yang sering kumat pada saat-saat yang tidak diinginkan. Perlu ramuan-ramuan yang manjur. Perlu mantra-mantra yang mustajab. Butuh motivasi yang mengubah tujuan menjadi sebuah kebutuhan. Bukan saja tujuan yang menjadi kebutuhan. Kerja harus menjadi sebuah kebutuhan. Seperti manusia, kebutuhan untuk makan, kebutuhan untuk bernafas, kebutuhan menutup malu dan kebutuhan untuk shalat. Kebutuhan yang kontinu yang harus dipenuhi.

Jika kerja sudah menjadi kebutuhan. Sudah tidak ada lagi kata 'nanti'. Harus mulai mengerjakan skripsi. Harus kerja. Harus kerja. Seperti lapar yang harus makan. Lapar datang-langsung makan. Jika terlambat bisa semaput, mungkin mati. Seperti rasa dahaga yang sangat yang harus segera minum. Mulutnya sudah kekeringan. Untuk bicara pun sayang ludahnya. Maka tidak ada akal-akalan lagi untuk menunda. Segera!

Sungguh disiplin itu sangat susah. Musuhnya tidak tanggung-tanggung. Malas! 

Saya sering membuat agenda. Memberikan peluang kepada diri saya. Membagi waktu agar pada waktu itu saya segera menulis. Meluangkan diri agar berada dalam kondisi untuk mengerjakan skripsi. Sedikit dipaksakan. Memaksakan pikiran. Memaksakan mood. Setelah bangun tidur, mandi, dandan seperti dandannya mau kuliah lalu duduk depan laptop. Buka folder skripsi. Baca dibaca membaca. Mengetik dua kalimat. Buntu. Ide mati. Tutup. Buka internet. See u next time :)

Mungkin karena dipaksakan. Ndak natural. Tidak enjoy.

Dengan senyuman lho saya meninggalkan pekerjaan menyelesaikan skripsi itu. Tanpa merasa punya tanggungan. Lalu pada lain waktu sadar. Ini tidak bisa begini terus. Lalu saya mau apa. Saya membuat akal lain. Membuat agenda lain. Cara lain. Tapi ujung-ujungnya sama. Lagi-lagi terbentur rasa malas.

Kenapa?

Tema mengenai skripsi dalam ruang pikiran saya masih kalah interest dengan pikiran-pikiran lain. Membaca buku jauh lebih ringan. Lebih menyenangkan. Tidak butuh mempekerjakan otak untuk berpikir. Hanya perlu duduk pegang buku. Tau-tau sudah berbuku-buku terlahap habis. Tapi skripsi tak kunjung nambah.

Menulis blog begini juga mengalahkan interest mengerjakan skripsi. Selesai satu artikel muncul ide-ide lain yang membuat saya tak sabar menuliskannya. Saya usahakan mandeg. Dan benar saya mandeg. Benar-benar mandeg sampai waktu yang tidak ditentunkan. Sampai lupa cara mulai nulis lagi. Mulai dari mana ide-ide yang dulu silih berseliweran, hilang. Ngambek karena saya punya niatan mengerjakan skripsi. Agak disayangkan juga. Tapi tetap skripsi tak kunjung nambah. Pilih mana?

Ada satu lagi. Kebutuhan sosial ingin berkumpul dengan teman. Kalau sudah berkumpul dengan teman semuanya jadi lupa, saking enjoy nya. Hidup ini begitu menyenangkan dengan ngobrol. Apalagi ngobrol sambil nongkrong di tempat wedangan. Siapa yang tidak suka. Semua orang suka hanya beda-beda kelasnya. Ada yang wedangannya di nite club, ada yang di cafe, ada yang cukup di angkringan (hik). Saya? Cukup hik semata bagi orang seperti saya. Tempat wedangan paling nyaman bagi kelas seperti saya. Tidak perlu agak digengsi-gengsikan, pesen menu kayak ibu-ibu saingan perhiasan waktu arisan. Bisa ngomong apa saja, ngomongin siapa saja. Boleh duduk gaya apa saja. Tiduran berbantal tubuh teman atau duduk bersila. Tidak perlu pake wewangian dan berdandan. Tidak usah pakai baju mahal-mahal seperti rok mini, hot pant dan u can see. Gaya kasual atau sarungan tetap enjoy. Cukup apa adanya, nduwenya apa. Lagi-lagi saking enaknya. Skripsi tertunda.

Kini saya sadar. Semoga sadar yang final. Tidak ada sadar-sadar yang lagi. Karena saya tidak ingin pingsan lagi. Bukan pingsan dalam arti tidur secara tidak sadar. Tau lah. Pingsan dalam arti terlena karena waktu dan dibumbui dengan rasa malas. Maka saya putuskan untuk tobat. Tobatan nasuha.

Lalu sekarang saya harus memikirkan apa-apa yang harus saya lakukan. Harus ada perasaan butuh yang urgen. Harus ada motivasi yang kontinu. Harus ada sosok yang saya kejar. Harus bergaul dengan nikmat waktu. Harus ada kerja. Harus ada DISIPLIN. Salam (*)

Up