Desa Masa Kecil

Dilahirkan di Bantul, salah satu kabupaten di Jogja. Di sebuah desa di pinggir kali Opak. Terpencil dari jalan beraspal. Apalagi jalan raya. Kalau mau bepergian jauh dengan naik bis, semisal ke pasar atau ke kota, kami harus berjalan kaki dulu sampai ke jalan beraspal. Di sana dilewati bis kecil yang memiliki jeda antara bis satu ke bis berikutnya kira-kira 30 menitan (Kalau saya tidak salah ingat). Karena itulah, saat SMP apabila telat, masalahnya cuma dua, bisnya yang telat, atau saya yang kesiangan sampai di jalan beraspal sehingga ketinggalan bis.

Jalan yang harus kami lewati itu namanya galengan.Yaitu jalan setapak di tengah-tengah sawah. Benar, antara jalan beraspal dengan desa kami dipisahkan oleh hamparan sawah dan kebon-kebon. Menegaskan bahwa desa kami benar-benar terpencil. Di pinggir galengan ada sawah dan kalen (sebutan untuk anak kali/sungai). Galengan ini hanya bisa dilewati satu sepeda saja. Kalau ada simpangan, salah satu harus mengalah. Berhenti, dan membiarkan satunya lewat. Biasanya orang yang lebih muda yang mengalah. Karena selain jalannya sempit, galengan ini juga tinggi, semacam jurang di sisi kanan dan kirinya. Dasar jurangnya kalen yang banyak batu-batunya. Dan sisi lain ada tanaman pandan berduri. Tentu kami tidak mau jatuh dan terperosok di salah satunya. Makannya salah satu harus mau berhenti. Walaupun tetap saja sering kejadian. Jatuh.

Dulu, sewaktu masih kecil, belum banyak yang memiliki sepeda motor. Tidak seperti sekarang, setiap rumah memiliki sepeda motor, bahkan lebih dari satu. Tapi sampai sekarang pun, di desa kami, tetap saja masih ada beberapa keluarga yang tidak memiliki sepeda motor. Bukan karena tidak mampu membeli. Tapi, memang tidak bisa mengendarai. Biasanya orang yang sudah berumur dan di rumahnya tidak ada anak atau cucu yang bisa mengendarai. Karena kebanyakan anak muda di desa kami, setelah lulus sekolah, merantau ke Jakarta. Jarang dari kami yang melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Ada, tapi hanya satu dua saja.

Dulu, kebanyakan penduduk masih mengandalkan sepeda. Kalau pagi-pagi, banyak sekali orang beriringan naik sepeda. Ke sawah. Ke pasar. Ke puskesmas. Ke sekolah. Mencari damen untuk pakan sapi. Pemandangan yang sulit ditemukan saat ini, terlebih kalau hidup di daerah perkotaan. Memang sekarang sudah mulai digalakkan lagi penggunaan sepeda. Tapi larinya ke hobi. Yang dipakai kalau weekend, biasanya di car free day. Bukan lagi digunakan untuk transportasi sehari-hari. 

Sebenarnya ada jalan yang lebih lebar. Bisa dilewati kendaraan roda empat. Tapi jalan itu lebih jauh. Harus melewati desa tetangga. Biasanya yang lewat adalah truk-truk yang akan mengambil pasir di kali. Iya, kali di desa kami banyak sekali memberi manfaat bagi penduduk. Sebagai mata pencaharian bagi mayoritas penduduk juga. Ada ikan. Ada batu. Ada pasir. Dan ada lahan menganggur yang bisa dimanfaatkan untuk ditanami. Selain juga, digunakan untuk mandi, mencuci dan buang air besar. Begitulah seharusnya yang benar. Bekerja sama dengan alam, untuk hidup-menghidupi.

Penduduk di sini kebanyakan memiliki sawah dan ternak. Beberapa memiliki tegalan (semacam sawah di pinggir sungai). Beberapa juga memiliki tanah kebon. Biasanya ditanami pohon berkayu yang bisa untuk investasi jangka panjang. Pohon jati misalnya. Jadi desa kami ini masih banyak kebonnya. Antara satu rumah dengan rumah yang lain banyak dipisahkan oleh kebon. Masih banyak pemandangan hijau pohon sehingga membuat desa kami tidak terlalu panas. Kalau pagi bisa menikmati embun di sawah. Para orang tua yang memiliki bayi sering melakukannya. Tapi kalau malam hari jangan ditanya. Krik, krik, krik. Jalan-jalan di desa masih gelap. Hanya cahaya bulan yang terlihat. Kami pun wajib memiliki senter kalau mau keluar malam.

Cerita-cerita tentang makhluk halus masih sering kami dengar dari orang-orang tua. Wewe gombel. Genderuwo. Pocong. Nama-nama mahkluk halus populer di desa kami. Sering mendengar juga ada anak kecil yang diumpetin mahkluk halus. Atau ibu-ibu yang disukai genderuwo. Sewaktu itu masih banyak maling juga. Sehingga untuk anak kecil seperti saya, terkadang takut kalau mau keluar malam. Jujur baru sekarang. Kalau dulu, anak cowok malu kalau bilang takut. Gengsi kami akan jatuh.

Yang saya suka di desa kami hubungan social antar warganya masih kuat. Tetangga seperti keluarga saja. Minta garam, minta cabe, minta nasi. Sopan santun pun harus kami jaga. Kalau lewat di depan rumah yang ada orangnya, kami wajib memberi salam. Menyapa. Kalau tidak kami akan dirasani. Tidak ada minuman keras di desa kami. Tidak ada yang memelihara anjing. Control socialnya masih baik. Sehingga moral kami cukup terjaga. Dan semoga masih akan terus terjaga dan dipelihara. Walaupun saya tidak tinggal lagi di sana.

Segitu dulu, mungkin akan ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Up